ANYELIR

 ANYELIR

Anni Nurlina Sari -annline-


Sepotong cerita dari perjalanan spiritual seorang anak manusia bernama ANYELIR.

Anyelir.

Begitulah ia biasa dipanggil. Terlahir sebagai anak perempuan pertama dari tiga orang bersaudara.

Anyelir tumbuh dewasa dengan cepat di usianya yang masih belia karena tuntutan keadaan. Itu sudah dimulai sejak dirinya masih dalam buaian. Di usianya yang masih tiga bulan, dimana ia masih membutuhkan air susu ibu, setitik benih kehidupan sudah mulai tumbuh di dalam rahim ibunya.

                                            Sumber : wowkeren.com

Seketika itu pula bayi Anyelir tidak lagi mau juga mampu menghisap sumber makanan utama seorang bayi dari ibunya, karena mungkin rasanya sudah berbeda, tubuhnya menolak untuk menerima bukan karena ia tidak mau atau ingin membuat hati ibundanya bersedih, tapi memang rasa ASI ibunya sudah berbeda. Bakal adik kandung yang ada di janin ibunya tentu juga pasti membutuhkan asupan dari tubuh ibunya.

Anyelir mengalah. Menerima keadaan. Ia sudah tidak merasakan lagi air susu ibu. Sejak itu ia sudah mulai membiasakan diri, mengakrabkan diri dengan susu formula.

Anyelir merasa tidak apa - apa. Ia merasa baik - baik saja. Meski sebetulnya ia masih membutuhkan air susu ibu hingga setidaknya ia berumur enam bulan, ia tetap merasa tidak apa - apa. Sebenarnya pula ada hal lain yang ia butuhkan selain air susu ibu, bayi Anyelir masih butuh sekali pelukan, dekapan dan gendongan dari sang ibu. Tapi ia, dituntut untuk dapat mengerti dan memahami bahwa mungkin kebutuhannya akan sedikit berkurang. Sebab, sang ibu yang pastinya perlu fokus dengan kandungannya, tentu akan mengalami hal - hal sulit yang tidak mudah juga di trimester awal kehamilan, seperti mual berulang. Anyelir harus menerima bahwa ia akan lebih banyak digendong dan ditimang - timang oleh Asisten Rumah Tangga (ART) ibunya.

Tepat di usia Anyelir satu tahun dan calon adik bayi di perut ibunya sudah mencapai usia sembilan bulan. Entah mengapa pada suatu sore yang terasa sepi dan dingin saat ia dan ibunya duduk di sebuah kursi kayu panjang berwarna putih di halaman depan rumah, Anyelir ingin sekali dipangku oleh ibunya, ia juga ingin dipeluk dan didekap hangat. Anyelir tahu, Anyelir pun melihat bahwa perut ibunya sudah semakin membesar, kekuatan fisik ibunya juga semakin melemah seiring beban yang harus ditanggung tubuh dan perutnya.

Namun, Anyelir merasa begitu rindu, rindu kehangatan seorang ibu seperti yang pernah ia rasakan di dalam perut ibunya, yang saat itu ibunya mengelus dan mengusap perutnya. Anyelir juga merasa begitu kesepian dan sendirian, ia merasa sejak hadirnya calon adik di perut ibunya ia tidak lagi mendapatkan perhatian penuh sebagaimana yang pernah ia rasakan selama tiga bulan pertama ia hidup di dunia.

                                            Sumber : orami.co.id

Jadi, momen saat sedang berdua dengan ibu duduk di bangku kayu putih akan dimanfaatkannya. Anyelir pun bergeser, ia duduk mendekati ibu, posisi dirinya dan ibu kini sudah dekat sekali. Dengan yakin tanpa keraguan sedikitpun Anyelir yang belum lancar berbahasa dan menyampaikan keinginannya secara lisan itu segera duduk di pangkuan ibu, ia meringis berusaha menyunggingkan senyumnya, hatinya berharap sang ibu akan memeluk dan mendekapnya hangat dari belakang.

Sebuah toyoran halus Anyelir rasakan di pundaknya, itu pun tidak mengapa, tapi kata - kata yang kemudian ia dengar meluncur dari seorang wanita yang ia harap akan memberinya pelukan atau setidaknya kecupan sungguh mebuat dirinya kaget dan terhentak, "Anyelir! apa yang kamu lakukan? kamu ini apa - apaan?? kenapa kamu duduk disini..kasihan ini adiknya nanti dia tergencet di dalam. Sudah kamu duduk sendiri saja."

Tertunduk. Anyelir merasa tubuhnya lemas. Ia kembali merasa begitu sepi, sedih dan sendiri. Rasanya kosong tiada berkawan. Ia merasa tidak disayangi, tidak ada yang mau memeluk dan mengecupnya atau mungkin hanya sekedar mengucapkan kata - kata manis yang indah meneduhkan, bukannya malah membuat ia tidak akan pernah berani lagi minta dipeluk.

Anyelir memang belum bisa berkata - kata banyak, di usianya yang masih dua belas bulan itu kosakata yang dimilikinya belum banyak. Meskipun begitu, ia sudah mampu mendengarkan dan mengerti dengan sempurna. Dan kejadian sore kelabu itu bersama ibu di halaman depan rumah di atas bangku kayu berwarna putih terekam terus dengan kuat tak pernah lekang, terpatri selamanya.

Hingga kemudian sang adik itu pun lahir, sang ibu memfokuskan dirinya pada bayi yang baru lahir itu lebih banyak dibandingkan perhatian kepada dirinya. Anyelir merasa tersingkir dan sendiri. 

Lalu, adik selanjutnya pun hadir. Semakin saja Anyelir merasakan kesepian dan kesendirian. Ia kemudian lebih banyak berbicara sendiri, berbincang dengan dirinya sendiri karena ia merasa tidak ada yang peduli padanya juga tidak ada yang bisa diajaknya bicaranya.

Anyelir hampir selalu merasa sendiri. Ia ingin sekali rasanya memiliki seorang atau dua orang kakak, yang bisa diajaknya berbincang, menyayangi juga melindunginya. Selama ini sebagai anak pertama, tidak ada tempat untuknya bisa bertanya, ia 'dituntut' untuk dapat mengatasi segala sesuatunya sendiri.

Anyelir beranjak menjadi balita, usianya empat tahun kini. Ia sudah mulai bersekolah di taman kanak - kanak. Ia tumbuh menjadi anak yang mandiri dan berani juga tangguh. Nyaris tidak pernah atau jarang sekali ia diantar ke sekolah. Ia justru malah yang menjaga atau melindungi adiknya. Tidak ada drama mencucurkan airmata, berteriak atau guling - guling seperti yang beberapa anak coba lakukan untuk menarik perhatian orangtuanya.

Anyelir tumbuh menjadi anak yang kalem, dan nampak pendiam dari luar. Namun, di dalamnya terasa gaduh dan bising. Di dalam benaknya ia terus bertanya dan bertanya. Banyak hal - hal yang ia pertanyakan dan ia ingin sekali tahu apa jawabannya. Tapi lagi - lagi harus dipendamnya.

Pernah suatu ketika usianya sudah menginjak lima tahun, pikirannya semakin dipenuhi pertanyaan yang aneh.  Anyelir mempertanyakan mengapa ia ada di dunia? mengapa ia ada di tubuh yang ini? mengapa jiwanya memilih tubuhnya yang ini? 

"Mengapa sih kita ada di dunia?"

"Untuk apa kita ada di dunia ini?"

"Mengapa jiwaku ada ditubuh yang ini?"

Terdengar ngeri dan aneh memang bila pikiran tersebut bercokol di benak seorang anak kecil. Tidak biasa dan bikin bergidik saja, bukan?

Hingga pada suatu hari yang kelabu lainnya, Anyelir mencoba memberanikan diri untuk bertanya pada orang dewasa yang ada didekatnya, sang ibu saat itu yag ada disampingnya, mau tidak mau Anyelir bertanya padanya, Anyelir bertanya tentang pertanyaan - pertanyaan yang menganggu dan terus berkecamuk di dalam benaknya itu.

"Kamu ini masih anak kecil, tidak usah berpikir yang aneh - aneh begitu."

Deg

"Kenapa kamu tidak bisa seperti anak - anak kecil lainnya yang berpikiran normal? kenapa harus nyeleneh? Pertanyaan macam apa itu? beberapa bulan lagi umur kamu sudah enam tahun, kamu mengaji saja, ibu sudah daftarkan kamu di Taman Pendidikan Al-Qur'an."

Bibir Anyelir terkatup rapat sejak saat itu, terkunci. Diam dan membisu. Entah rasa apa yang kemudian ia rasakan, ia belum mengerti betul. Mungkin kecewa, kesal atau marah. Satu yang pasti yang ia tahu adalah ia tidak mau lagi bertanya pada ibu atau orang dewasa lainnya. Sungguh dia tidak ingin dicap sebagai anak aneh. Ia hanya ingin tahu saja, apakah itu salah? Anyelir hanya ingin tahu jawabannya secara logis jika itu tidak memungkinkan atau sulit diberikan, setidaknya bersikap baiklah kepadanya, bukankah ia juga berhak diperlakukan dengan baik - baik?

Kebiasaan menutup bibir itu mungkin yang membuatnya kemudian menjadi semakin pendiam dan sangat jarang sekali mengeluarkan kata - kata, hingga pada akhirnya ia terlihat sebagai anak yang benar - benar 'aneh' oleh sebayanya. Itu terjadi di usianya yang ke enam tahun, beberapa orang teman merundungnya. Berbarengan dengan itu Anyelir juga sudah mulai belajar mengaji dan praktek shalat.

Saat perundungan terjadi, itu adalah masa yang sangat buruk dan kelam sekali untuk Anyelir yang merasa tidak punya siapa - siapa yang mau mengerti dan dapat diajaknya bicara. Sedih, hancur dan terpukul. Jiwa dan hatinya terluka dalam. Tidak ada baginya tempat untuk mengadu. Airmata mulai mengering di kelopak matanya akibat menahan kegeraman dari perundungan yang mendera dirinya.

Disaat itulah, untuk mengusir rasa sedih dan hancur juga tidak berdaya yang menderanya, Anyelir teringat kata - kata dari guru Agama juga guru mengajinya bahwa 'Ingatlah Allah makan kamu akan tenang'. 'Allahlah satu - satunya penolong kita, tempat kita mengadu'. 'Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu'.

Ahhh...Anyelir merasa tercerahkan dan tergerak sekali, setelah mengingat kata - kata tersebut ia ingin segera mempraktekkan apa yang telah ia pelajari dari guru - gurunya tersebut.

 Anyelir menghamparkan sajadah yang Ayah belikan untuknya, ia juga mengenakan mukena warna pink yang ibunya beri. Setelah sebelumnya mengambil air wudhu, Anyelir bersiap untuk menghadap Sang Pencipta Langit dan Bumi.

"Allahu Akbar..." Anyelir bertakbir, ia mengangkat tangannya lalu bersedekap. Takbiratul ikram. Dibaca pula kemudian olehnya surat Al -Fatihah dan surat al - Ikhlas. Anyelir melakukan gerakan shalat, rukuk, i'tidal, sujud hingga tahiyat akhir. Ia melakukannya dengan khusyuk, setelah shalat, ia menengadahkan tangannya berdo'a. Ia curahkan segala isi hatinya, kesedihan, kebingungan, kesendirian, kegalauan, kegundahan, kesakitan, kekecewaan, semuanya hingga benar - benar tuntas, airmata Anyelir menetes di pipinya, tetesannya semakin deras dan banyak. Tumpah ruah.

Sesudahnya, Anyelir merasakan kelegaan dan kebahagiaan luar biasa. Terasa ringan hatinya, tidak ada lagi beban.

Anyelir kemudian seperti kecanduan untuk 'berbincang' dengan Tuhan, ia mengadukan semuanya. Menceritakan selengkap - lengkapnya pada Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Kedamaian hati kental Anyelir rasakan selalu setelahnya. Apalagi jika ia melakukannya dalam suasana hening dan tenang. Saat bumi benar - benar sepi pada dini hari, dimana sebagian besar manusia tertidur lelap, maka Anyelir akan memilih untuk bangun dan bermunajat. Ia shalat tahajud. 

Setelah mendapat kelegaan dan kebahagiaan selepas bercakap - cakap dengan Tuhan, kini tiap kali Anyelir ditimpa kesedihan ataupun masalah, maka ia akan langsung mengadu pada Sang Pencipta-Nya. Dan ajaibnya, seperti mendapatkan jawaban dan solusi, makan pertanyaan ataupun apa yang ia adukan akan diberikan jalan keluarnya, cepat atau lambat. Seringkali cepat, saat hubungan dirinya dengan Tuhan begitu dekat dan intens sekali, bahkan ia dapat merasakan apa mau dan maksud dari Tuhan untuknya.

Hingga kini saat dirinya terus bertambah dewasa Anyelir tetap seperti itu.

Menurut dirinya sendiri, ia telah mengalami perjalanan spiritual sederhana versi dirinya sendiri sejak ia mampu merasakan dapat 'berbincang' dengan Tuhannya, saat ia merasa didengarkan dan kemudian diberikan segala jawaban, solusi dan jalan keluarnya.

Anyelir bahkan tidak bisa membayangkan bila dirinya tidak terlahir sebagai seorang muslimah, bagaimana ia akan mendapatkan ketenangan batin, bagaimana dan kepada siapa ia bisa mengadu? rasanya tidak bisa juga tidak terbayangkan..

Bagimana ia bisa menghamparkan sajadah lalu mengadu sepuas - puasnya kepada Sang Maha Cinta. Rasa - rasanya ia tidak akan mampu bila tidak melakukan percakapan dengan Tuhannya di dalam mengarungi kehidupannya di dunia. Rasa hausnya akan pelukan, dekapan hangat yang jarang sekali bisa ia rasakan, sedikit banyak dapat ia rasakan saat bercengkerama dengan Tuhannya.  

Bahkan sejak saat itu pula, Anyelir sudah mantap sekali bahwa ia ingin dan akan selalu menjadi muslimah hingga menutup mata. Ia juga hanya mau berpasangan dan bersuamikan dengan seorang muslim saja. Tidak masalah jika nantinya calon suami atau mungkin yang akan menjadi suaminya itu adaah orang asing, orang yang berbeda suku bangsa dengannya. Sungguh ia tidak peduli, apakah Cina, Eropa atau Amerika sekalipun, yang ia pedulikan, perlukan juga pentingkan adalah sama - sama muslim. Karena baginya itu adalah harga mutlak yang tidak bisa ditawar - tawar lagi.

 

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Berdoa emg salah satu media curhat yg terbaik ya, apalagi di sepertiga mlm yg trakhir..
    Bukan cuma didengar, tp jg dikasih solusi..
    Tp di situ biasanya bnyk tantangannya, termasuk mata yg masih berat atw kdg air yg berasa jd lbh dingin..hehe..
    Beruntung kl anyelir bisa ngelewatin semuanya :)

    BalasHapus