'Terlalu' Hanya karena sebuah pandangan mata...

Hanya karena sebuah pandangan mata...

'Terlalu'

"Segala sesuatu yang 'Terlalu' itu tidak baik. Terlalu baik misalnya, akan tetap menjadi hal yang kurang baik.
Petuah seorang guru di Bangku Sekolah Menengah Atas itu kembali berdengung di gendang telinganya.

Shocked

Tak habis pikir...

Benar-benar diluar nalar..keajaiban aneh tak bermutu kembali terjadi...



Baru saja ia terbangun dari lelap yang entah seperti mengembara kemana..
Rasa buncah itu kini juga telah menguap, tergerus laku yang kekanak-kanakan, tak bisa diajak berdiskusi, berkompromi apalagi bernegosiasi.

Bungkam, rasanya menjadi pilihan tepat untuk meredam semua hentakan yang tak pernah tepat sasaran itu.
Melayang sudah semua asa yang diidamnya, ahh..lagipula siapa juga yang mau mengerti dan peduli?
Jadi, ia lanjutkan saja igauan mengawang itu ditambah kondisi raga yang turut merengek rebah.

Terkesiaplah ia kemudian, baru saja terduduk, beruntung rasa cerah segar berkenan menyelimuti. Masih tertegun, dan hanya ingin bungkam saja, tak perlu kata, karena kata-kata sebagaimana pun indah dan benarnya tetap saja akan dipersalahkan, diperdebatkan, menjadi sesuatu yang sama sekali tak memiliki arti juga makna.

Hanya sedang terpaku saja, sambil memintal pikir apa yang perlu ia lakukan, beberapa deret rencana bermunculan, pikir itu menggiringnya untuk menjangkau penghubung kontak yang berada tidak jauh darinya.

Sebuah gerakan biasa, membawa tubuh bagian atas sebelah kanannya melewati sebuah alat elektronik yang biasanya dipakai bekerja oleh orang itu.

Tak habis pikir, ia dibuat terheran-heran sangat oleh orang itu. Apa pasal? dengan gerakan emosi yang menghentak orang itu meraih alat elektronik di hadapannya secepat kilat, tak mengindahkan pergerakan yang dibuat, kasar tidaknya. 

Ia sungguh kaget, shocked, bertanya-tanya keheranan sendiri mengapa harus direspon dengan cara yang seperti itu sekali? Padahal tak ada apapun yang terbersit di hati dan pikirannya. 

Tak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya, namun ekor mata ditambah tatapan tak bersahabatnya telah begitu salah sekali dipahami, dinterpretasikan keliru sebegitunya.

Seperti kebiasaan yang dibentuknya sendiri, orang itu segera saja menyambar alat pembuka benda beroda empat yang menjadi tempat pelarian dari segala kejadian sesepele apapun itu, orang itu tanpa pernah memikirkan perasaan dan dampak psikologis pada orang lain segera saja menyambar, bergerak seperti anak umur transisi yang emosi karena ego diri yang tak terkendali.

Ia yang selalu dicecoki pahitnya akhlak dari orang itu sudah sebegitu sering dipaksa harus menelannya, hingga tadi rasanya sudah hambar begitu saja.
Ajaibnya, ia merasa tenang dan sama sekali tidak tertarik untuk ikut polah kebocah-bocahan orang itu.

Orang itu seperti kemudian sudah menjadi polanya, langsung ringsek, menyeret langkah kasar serta membanting papan pintu hingga berdentam. 

Sedang ia tetap tertegun pada posisinya sendiri, bingung, heran, tak habis pikir. Kok bisa ya ada orang yang bisa bertindak sereaktif negatif begitu untuk suatu hal remeh yang mana interpretasinya dia yang ciptakan sendiri. Padahal, ada ia yang sama sekali tak berniat, bermaksud bahkan berkomunikasi apapun. Ya, ia mengakui bahwa raut wajahnya memang terlipat tak teduh, namun hatinya sedang flat dan damai-damai saja, tak ada keberatan pada keserampangan yang ada. Lalu mengapa, ia harus diperlakukan tak layak begitu?

"Hhhhh, sudahlah..selalu saja dibuat perkara aneh yang tak penting..." ia tetap riang saja, menyiapkan apa yang mau ia lakukan, menyajikan apa yang tak tersaji dan tak terpikirkan oleh orang itu, tapi tetap saja orang itu tak tahu terimakasih dan rasa syukur.

Hingga kemudian, orang itu kembali, ia hanya ingin menyampaikan isi hati dan pikirannya, namun nampaknya seperti hal yang sia-sia saja.
Ya, berat, sia-sia, tidak mudah.

Alih-alih..mau mendengarkan dan memahami, orang itu memilih untuk meninggikan nada suara sambil mendelikkan matanya.
"Jadi, aku itu tidak ada maksud apa-apa dengan caraku melihat seperti itu, ya aku memang sedang heran saja dengan apa yang sedang terjadi..."

.......

Ekspektasi : "Ohhh ya ampun, kamu tuh jadinya nggak kesel ya sama aku, nggak terganggu ya dengan muka jutek kamu itu, konyol banget ya aku sampe langsung brag breg juga ngacirrr hehehe...pakai segala ngambek ngumpet di dalam kotak beroda empat hasil jerih payah kamu juga...
"Iya, aku nggak apa apa kok, orang aku baru bangun tidur, mau nyalain air, terus mau bikin ini dan itu, maafin muka jutek aku ya..thats mean nothing. Please jangan suka salah paham ya, please juga mau dengerin dan percaya, makasih loh kalau kamu mau dan bisa begitu."
"Iya, maafin aku juga ya..."
Berpelukan, usap2, teletubbies...ah senang dan bahagianya. Mudah diajak berbicara, berkompromi, listening to understanding. EQnya tinggi banget.

Realita : 
"Iya, kamu jadi kesel, nggak suka, terganggu karena ada alat kerja aku, makanya aku pindahin biar ga ngeganggu..."
*dengan cara nggak suka, kesel n ga ikhlas sama sekali, nggak ada rasa seneng di hati..*
"Aku nggak kesel sama sekali loh, ga ada maksud apa apa aku tuh, makasih kalau kamu udah ada niat baik mau membantu, tapi nggak pake marah, ngambek dan ngerem juga di kotak beroda..."
"Nggak ada maksud gimana..muka kamu aja kayak begitu, ngapain juga kamu malah ngeliatin coba..."
*dan dimulailah drama kebocahan yang nggak penting dan nggak bermutu itu, dimana dia terus membela dirinya, tidak mau mendengarkan-menerima dan percaya, memberondong dengan pemahaman-pemahamannya sendiri saja*
"Maafin muka jutek aku, hati aku tapi enggak kenapa2 loh, juga aku ngeliatin cuma bertanya-tanya sendiri aja, ada apa sih ini..kenapa jadi begini..."
Dan, hanya jadi hal yang percuma dan sia-sia saja penjelasan darinya.
"Ahhh..mana ada!!! nggak ada apa apa, maksud, kamu bilang begini, begitu, ngapain pake ngeliatin!!!..." nada suara orang itu semakin meninggi dengan delikan matanya..bola matanya terlihat makin membesar, raut wajahnya sudah berubah menyeramkan dengan volume suara menggelegar...
*amarahnya semakin memuncak, secepat kilat kesadarannya hilang tak bisa menerima masukan pendapat apapun..*
Bagi orang itu hanya dirinya sendiri saja yang benar, persetan dengan kata-kata dari orang lain meskipun itu benar dan disampaikan dari hati.

Dan wrezzzz...orang itu kembali kabur ngambek dan mengumpat lagi setelah ia sudah membuat cemilan, menggoreng lauk, memasak nasi untuk orang itu. Ia ditinggal, orang itu mendekam dan tidak mau peduli pada apapun lagi. Mau hujan petir menyambar sekalipun tak bisa membuat orang itu tersentuh hatinya pada kondisi di sekitarnya, ego tinggi juga hati keras di atas segalanya.

Orang itu tak peduli, pun juga mungkin tidak merasa berdosa telah menyakiti hati seorang perempuan bahkan meninggalkan kewajiban lima waktu saja dia sudah lama sanggup melakukannya.

Hujan pun benar-benar turun, bertambah deras, disertai angin kencang dan juga petir..

Apakah orang itu akan peduli pada dirinya, hati orang lain, juga makhluk hidup berkaki empat yang baru beranak yang orang itu putuskan untuk selamatkan dan menjadi tanggungjawab orang itu.
Kenyataannya, orang itu tetap membenamkan diri di benda kotak beroda, membiarkan waktu panggilan menghadap Sang Pencipta berlalu berganti ke panggilan waktu yang selanjutnya. Membiarkan dengan tidak memeriksa makhluk hidup berkaki empat itu apakah tidak terkena banyak tampias air hujan. Tak peduli tanggungjawab itu jadi terlimpahkan ke ia yang orang itu sakiti hatinya, ia yang kena mengurus, membersihkan, serta memindahkan sementara untuk menyelamatkan anabul2 dari hujan dan kedinginan. Apakah ada rasa syukur, terimakasih juga penghargaan?

Orang itu terus disana, terus membiarkan terlewati kewajiban-kewajiban utamanya pada Sang Maha Pencipta terlewati, masa bodoh pada usaha ia yang telah menyiapkannya makanan sederhana, ia tolak dengan pergi keluar membeli makanan sendiri.

Ketegangan, kekakuan, drama kebocahan yang tidak penting itu terus berlanjut, lamaaa sekali hingga berjam-jam dan hari sudah berganti, terus saja orang itu pendam hingga pagi, masih terus saja hingga siang hingga hingga sesuka suka hati orang itu, hanya karena sebatas perkara ia memandang tindakan respon ajaib dari orang itu.

Posting Komentar

0 Komentar